Sabtu, 19 November 2011

Aspek Pidana Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Advokad


Aspek Pidana Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Advokad

Advokat berasal dari kata “Advocaat” berasal dari bahasa latin yaitu “advocatus” yang berarti pembela ahli hukum dalam perkara, dalam atau di luar pengadilan. Advokat adalah seorang ahli hukum yang memberikan bantuan atau pertolongan dalam soal-soal hukum.Pengertian advokat berdasarkan Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum baik  di dalam maupun di luar pengadilan yang memiliki persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini. Pemberian jasa hukum yang dilakukan oleh advokat meliputi memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan klien dengan mendapatkan honorarium atau imbalan atas jasa hukum yang diterima berdasarkan kesepakatan dengan klien atau memberikan jasa hukum secara cuma-cuma kepada klien yang tidak mampu. Klien dapat berupa orang, badan hukum atau lembaga lain yang menerima jasa hukum dari seorang advokat.
Secara historis, Advokat termasuk salah satu profesi yang tertua. Dalam perjalanannya, profesi ini dinamai sebagai officium nobile, jabatan yang mulia. Penamaan itu terjadi adalah karena aspek “kepercayaan” dari (pemberi kuasa, klien) yang dijalankannya untuk mempertahankan dan memperjuangkan hak-haknya di forum yang telah ditentukan.[1]
Advokat sebagai nama resmi profesi dalam sistem peradilan kita-kita pertama ditemukan dalam ketentuan Susunan Kehakiman dan Kebijaksanaan Mengadili (RO). Advokat itu merupakan padanan dari kata Advocaat (Belanda) yakni seseorang yang telah resmi diangkat untuk menjalankan profesinya setelah memperoleh gelar meester in de rechten (Mr). Lebih jauh lagi, sesungguhnya akar kata itu berasal dari kata latin “advocare, advocator”. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau hampir di setiap bahasa di dunia kata (istilah) itu dikenal.[2]
Profesi Advokat sebenarnya merupakan profesi yang relatif sudah tua usianya. Jauh sebelum kemerdekaan nasional, profesi advokat sudah dikenal dalam masyarakat Indonesia. Pada tahun 1947 telah diperkenalkan satu peraturan yang mengatur profesi advokat. Peraturan yang dikenal dengan nama Reglement op de Rechterlijke organisatie en het Beleid der Justitie in Indonesia (S. 1847 no. 23 yo S. 1848 no. 57) dengan segala perubahan dan penambahannya, antara lain menyebutkan advokat adalah juga Procureur. Melihat kenyataan bahwa undang-undang tentang advokat telah dibuat pada tahun 1947, dapat diduga bahwa profesi sudah dikenal pada tahun 1850-an[3]. (Yayasan Lembaga Bantuan Indonesia, Buku Penuntun Untuk Latihan Paralegal, 1989, hal. vii)
Di samping advokat, pada masa sebelum kemerdekaan nasional, kita mengenal pokrol atau sering disebut dalam istilah bahasa Inggris bush lawyer. Mereka adalah pemuka-pemuka masyarakat atau orang-orang biasa yang setelah memperoleh pendidikan praktek hukum seperti; Hukum Acara Perdata, Hukum Acara Pidana, Hukum Perdata, Hukum Pidana, diberikan izin pengadilan untuk memberikan nasehat hukum atau melakukan pembelaan masyarakat pencari keadilan di depan pengadilan. Para pokrol ini kemudian berpraktek pula seperti halnya advokat. Pokrol atau bush lawyer ini sekarang sudah tidak banyak dikenal, dan lambat laun keberadaannya juga semakin memudar.

Dengan demikian pengertian advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum yang meliputi memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan klien baik di dalam maupun di luar pengadilan dengan mendapatkan honorarium atau imbalan atas jasa hukum yang diterima berdasarkan kesepakatan dengan klien atau memberikan jasa hukum secara cuma-cuma kepada klien yang tidak mampu dan memiliki persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini.  Dengan adanya Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Pasal 2 ayat (1) mengatur tentang pengangkatan advokat. Pengangkatan advokat dapat dilakukan kepada sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi advokat yang dilaksanakan oleh organisasi advokat. Menurut amanah pasal 28 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 advokat-advokat harus menjadi anggota organisasi advokat sebagai wadah profesi advokat yang bebas dan mandiri yang mempunyai maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi advokat.
Sepanjang organsiasi advokat belum terbentuk maka sementara tugas dan wewenang dijalankan bersama oleh Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan hukum Indonesia (AKHI),Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal Indonesia (HKHPM), dan Asosiasi Pengacara Syari’ah Indonesia (APSI).
Pelaksanaan tugas dan wewenang sementara tersebut dibatasi sampai waktu dua tahun setelah diundangkannya UU Advokat dan pada tanggal 21 Desember 2004, delapan organisasi advokat mendeklarasikan Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) sebagai organisasi advokat di indonesia. Advokat adalah orang yang berpraktek guna memberikan jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan berdasarkan undang-undang yang berlaku, baik sebagai advokat privat, penasehat hukum, pengacara praktek ataupun sebagai konsultan hukum dalam perusahaan tertentu. Oleh karena itu advokat meruapakan profesi yang terhormat (officium Nobile).

A.                Peran dan Fungsi Advokad
Pengertian advokat menurut Pasal 1 ayat (1) UU Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik didalam maupun diluar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan undang-undang ini. Selanjutnya dalam UU Advokat dinyatakan bahwa advokat adalah penegak hukum yang memiliki kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya (hakim, jaksa, dan polisi). Namun demikian, meskipun sama-sama sebagai penegak hukum, peran dan fungsi para penegak hukum ini berbeda satu sama lain.
Mengikuti konsep trias politica tentang pemisahan kekuasaan negara, maka hakim sebagai penegak hukum menjalankan kekuasaan yudikatif, jaksa dan polisi menjalankan kekuasaan eksekutif. Disini diperoleh gambaran hakim mewakili kepentingan negara, jaksa dan polisi mewakili kepentingan pemerintah. Sedangkan advokat tidak termasuk dalam lingkup kekuasaan negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Advokat sebagai penegak hukum menjalankan peran dan fungsinya secara mandiriuntuk mewakili kepentingan masyarakat (klien) dan tidak terpengaruh kekuasaan negara (yudikatif dan eksekutif). Konsekuensi dari perbedaan konsep tersebut, maka hakim dikonsepsikan memiliki kedudukan yang objektif dengan cara berpikir yang objektif pula sebab mewakili kekuasaan negara di bidang yudikatif. Oleh sebab itu, dalam setiap memeriksa, mengadili, dan menyesesaikan perkara, seorang hakim selain wajib mengikuti peraturan perundang-undangan harus pula menggali nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang ditengah-tengah masyarakat.
Jaksa dan Polisi dikonsepsikan memiliki kedudukan yang subjektif dengan cara berpikir yang subjektif pula sebab mewakili kepentingan pemerintah (eksekutif). Untuk itu, bila terjadi pelanggaran hukum (undang-undang), maka jaksa dan polisi diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk menindaknya tanpa harus menggali nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang ditengah-tengah masyarakat. Dengan kata lain, setiap pelanggaran hukum (undang-undang), maka akan terbuka bagi jaksa dan polisi untuk mengambil tindakan.
Sedangkan advokat dikonsepsikan memiliki kedudukan yang subjektif dengan cara berpikir yang objektif. Kedudukan subjektif Advokat ini sebab ia mewakili kepentingan masyarakat (klien) untuk membela hak-hak hukumnya. Namun, dalam membela hak-hak hukum tersebut, cara berpikir advokat harus objektif menilainya berdasarkan keahlian yang dimiliki dan kode etik profesi. Untuk itu, dalam kode etik ditentukan diantaranya, advokat boleh menolak menangani perkara yang menurut keahliannya tidak ada dasar hukumnya, dilarang memberikan informasi yang menyesatkan dan menjanjikan kemenangan kepada klien.

B.                 Perkembangan Organisasi Advokat di Indonesia
Cikal bakal organisasi advokat secara nasional bermula dari didirikannya Persatuan Advokat Indonesi (PAI), pada 14 Maret 1963. PAI ini kemudian mengadakan kongres nasional yang kemudian melahirkan Peradin. Dalam perkembangannya, Peradin ini tidak terlepas dari intervensi pemerintah sebab perjuangannya pada waktu itu dianggap membahayakan kepentingan rezim pemerintah yang sedang berkuasa sehingga munculah organisasi advokat yang disebut Ikadin. Ikadin pun kemudian pecah dan advokat yang kecewa terhadap suksesi kepengurusan Ikadin mendirikan Asosiasi Advokat Indonesia (AAI). Sejak diberlakukannya UU Advokat pada tanggal 5 April 2003, maka 8 organisasi advokat yaitu IKADIN, IPHI, HAPI, AKHI, AAI, SPI, HKHPM, dan APSI diamanatkan oleh pembentuk undang-undang untuk membentuk suatu organisasi advokat dalam kurun waktu 2 tahun. Untuk itu, dibentuklah Komite Kerja Advokat Indonesia, yang kemudian KKAI ini merumuskan Kode Etik Advokat Indonesia pada tanggal 23 Mei 2002 dan mendeklarasikan organisasi advokat sebagai organisasi payung advokat di Indonesia yang disebut Peradi (Perhimpunan Advokat Indonesia/Indonesian Advocates Asociation) pada tanggal 21 Desember 2004 yang akta pendiriannya disahkan pada 8 September 2005. Peradi tersebutlah yang pada saat ini menyelenggarakan Pendidikan Khusus Pendidikan Advokat (PKPA), Ujian Profesi Advokat (UPA), dan Magang bagi seorang yang berlatar pendidikan tinggi hukum yang berniat untuk menjalankan profesi advokat di Indonesia. Advokat sebagai profesi terhormat (officium nobile) yang dalam menjalankan profesinya berada dibawah perlindungan hukum, undang-undang dan Kode Etik, memiliki kebebasan yang didasarkan kepada kehormatan dan kepribadian Advokat yang berpegang teguh kepada Kemandirian, Kejujuran, Kerahasiaan dan Keterbukaan. Bahwa profesi Advokat adalah selaku penegak hukum yang sejajar dengan instansi penegak hukum lainnya, oleh karena itu satu sama lainnya harus saling menghargai antara teman sejawat dan juga antara para penegak hukum lainnya. Oleh karena itu juga, setiap Advokat harus menjaga citra dan martabat kehormatan profesi, serta setia dan menjunjung tinggi Kode Etik dan Sumpah Profesi, yang pelaksanaannya diawasi oleh Dewan Kehormatan sebagai suatu lembaga yang eksistensinya telah dan harus diakui setiap Advokat tanpa melihat dari organisasi profesi yang mana ia berasal dan menjadi anggota, yang pada saat mengucapkan Sumpah Profesi-nya tersirat pengakuan dan kepatuhannya terhadap Kode Etik Advokat yang berlaku.

C.                Aspek Pidana Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat
Dalam Undang-Undang Advokat adanya putusan Mahkamah Konstitusi [MK] Nomor 006/PUU-II/2004 yang telah dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia Nomor 103 Tahun 2004, Terbit pada hari Selasa tanggal 24 Desember 2004, yang amar putusannya sebagai berikut :Menyatakan, Pasal 31 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Menyatakan, Pasal 31 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
Dimana ketentuan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 mengatur bahwa "Setiap orang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi Advokat dan bertindak seolah-olah sebagai Advokat, tetapi bukan Advokat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta) rupiah". Putusan MK diatas, sesungguhnya secara tidak langsung telah mengabaikan kepentingan Para Praktisi Advokat berlisensi & telah tergabung pada organisasi Profesi resmi sebagaimana disyaratkan oleh Undang-Undang, dan dalam kesehariannya bekerja dan menjalankan profesi Advokat. Karena penghapusan dari keberlakuan Pasal tersebut bisa Mengembalikan keadaan dan berjalannya profesi Advokat kembali seperti dulu sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003, yaitu antara lain : Banyak Sarjana Hukum maupun non-hukum yang karena usia, pengalaman, atau karena mengenal banyak orang yang bekerja sebagai praktisi hukum dan pemegang kekuasaan, cukup mengoceh dan contek sana-sini akhirnya bisa memberi saran & pendapat hukum kepada masyarakat yang membutuhkan jasa hukum F patut dipertanyakan apakah pemberian saran & pendapat hukum demikian sudah profesional & searah dengan tujuan dari Undang-Undang Advokat itu sendiri, Apabila saran & pendapat hukum ini yang diberikan tidak benar, tentuini akan merugikan masyarakat selaku konsumen pengguna jasa Advokat Non-Lisensi & sekaligus mencemarkan Profesi Advokat itu sendiri diIndonesia. Putusan MK yang menghilangkan ketentuan pidana, telah membuka celah bagi timbulnya kembali praktek Advokat Non-Lisensi merebak dan hidup tumbuh suburkembali di Indonesia walau hanya sebatas Non-Litigasi. Uniknya tidak satupun ketentuan yang mengatur pemberian sanksi apabila para Advokat "jenis ini" tidak tergabung dalam organisasi profesi. Sehingga penghapusan ketentuan pidana dalam UU Advokat, cepat atau lambat akan mengembalikan keterpurukan Profesi Advokat di mata masyarakat dan semakin merugikan masyarakat itu sendiri selaku konsumen pengguna jasa Advokat dan semakin menimbulkan persaingan tidak sehat antara para Advokat berlisensi & Advokat Non-Lisensi. Dan sanksi jika terjadi mall-praktek advokat yaitu Sanksi Pidana, ada alasan pemberat pidana karena yang bersangkutan menjalankan profesi advokat secara resmi. Dan dalam UU Perlindungan Konsumen Sanksi Pidana Umum, seperti masyarakat awam lain yang tidak mengerti hukum maka tidak terjerat UU Perlindungan Konsumen karena bukan pemberi jasa. Selanjutnya Sanksi Pelanggaran. Pencabutan izin Advokat  Dan ada Pula Sanksi Dari Organisasi Profesi Apabila seorang Advokat berlisensi melanggar kode etik profesi, tentu hal ini akan menimbulkan Sanksi yang diberikan oleh Organisasi Profesi. Apakah hal yang sama akan dialami oleh Advokat Non-Lisensi? TIDAK, karena Advokat
Non-Linsensi tidak perlu bergabung dalam Organisasi Profesi, sehingga tidak perlu cemas akan adanya pemberian Sanksi jika melanggar kode etik.
Berbeda dengan Advokat ber-lisensi, konsekuensi pelanggaran kode etik mengakibatkan adanya Sanksi Pencabutan Izin Advokat. Contoh-contoh dibawah ini bisa jadi akan terjadi pasca pencabutan sanksi pidana dari Undang-Undang
Advokat, yakni: Ketika terjadi musyawarah [negosiasi penyelesaian damai untuk kepentingan klien] antara seorang Advokat Berlisensi dengan seorang Advokat Non-Lisensi, maka apabila Advokat Non-Lisensi melakukan suatu ancaman akan
melakukan upaya Hukum yang tidak perlu dan tidak beralasan [unnecessary bluffing], dimana ancaman upaya hukum ini diselundupkan dengan unsur pemerasan, apakah si-Advokat Berlisensi boleh menegur Advokat lawan yang telah melakukan pelanggaran kode Etik, dan membawa perkara pelanggaran kode etik ini ke muka Dewan Kehormatan? Jawabannya mudah, tidak bisa.karena Advokat Non-Lisensi tidak memiliki Organisasi Profesi dan tidak memiliki Dewan Kehormatan yang akan menegurnya. Terlebih lagi "ancaman" tersebut bisa saja disembunyikan dengan dalil bahwa tidak seorang-pun dianggap melakukan perbuatan melawan hukum, dalam rangka mengambil suatu tindakan hukum.
Mengenai keberadaan Lembaga-Lembaga Bantuan hukum diUniversitas, hal ini tidak bisa dipungkiri, bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Advokat khususnya Pasal 31, telah membatasi ruang-gerak LBH-Kampus sebagai organisasi nir-laba, dalam memberikan jasa bantuan hukum baik litigasi maupun non-litigasi, bahkan cenderung menciptakan kevakuman bagi LBH kampus. Namun secara sederhana hal ini bisa diatasi dengan meminta Surat Penunjukkan dan/atau bekerja sama dengan Persatuan Advokat Indonesia [PERADI] agar bersedia memberi Surat izin bagi LBH-LBH kampus dimaksud untuk jangka waktu dan kurun waktu tertentu, yang bisa diperpanjang lagi sesuai kebutuhan, agar LBH ini bisa kembali memberikan jasa hukum kepada masyarakat baik untuk berlitigasi maupun non-litigasi. Penulis melalui tulisan ini tidak bermaksud meremehkan peranan LBH-Kampus ini yang sesungguhnya telah menjalankan pemberian jasa hukum yang mulia dan sekaligus sebagai gerbang awal bagi para Calon Sarjana Hukum untuk terjun langsung dan bergabung untuk menjalankan profesi Advokat secara mandiri & profesional di Indonesia. Kami menyampaikan pendapat melalui tulisan ini, semata-mata untuk mendeskripsikan bahwa adanya penghapusan sanksi pidana dalam Undang-Undang Advokat, besar kemungkinan akan menciptakan peluang pelanggaran kode etik Profesi yang dilakukan oleh Advokat Non-Lisensi, serta bisa mengabaikan kepentingan para Advokat berlisensi yang secara penuh tunduk pada ketentuan Undang-Undang Advokat itu sendiri.











[1] Luhut M.P. Pangaribuan, Advokat dan Contempt of Court Satu Proses di Dewan Kehormatan Profesi, Djambatan, Jakarta, 1996, hlm. 1
[2] Ibid.
[3] Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Buku Penuntut Untuk Latihan Paralegal, Yayasan LBH Indonesia, Jakarta, 1989, hlm. viii.

1 komentar:

  1. UU No. 13 Tahun 2003 itu UU Ketenagakerjaan buka UU Advokat

    BalasHapus