Aspek Pidana Dalam Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 Tentang Advokad
Advokat berasal dari kata “Advocaat”
berasal dari bahasa latin yaitu “advocatus” yang berarti pembela ahli
hukum dalam perkara, dalam atau di luar pengadilan. Advokat adalah seorang ahli
hukum yang memberikan bantuan atau pertolongan dalam soal-soal hukum.Pengertian
advokat berdasarkan Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat adalah
orang yang berprofesi memberi jasa hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan yang
memiliki persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini. Pemberian jasa
hukum yang dilakukan oleh advokat meliputi memberikan konsultasi hukum, bantuan
hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela dan melakukan tindakan
hukum lain untuk kepentingan klien dengan mendapatkan honorarium atau imbalan
atas jasa hukum yang diterima berdasarkan kesepakatan dengan klien atau
memberikan jasa hukum secara cuma-cuma kepada klien yang tidak mampu. Klien
dapat berupa orang, badan hukum atau lembaga lain yang menerima jasa hukum dari
seorang advokat.
Secara historis, Advokat termasuk salah satu profesi
yang tertua. Dalam perjalanannya, profesi ini dinamai sebagai officium nobile, jabatan yang mulia.
Penamaan itu terjadi adalah karena aspek “kepercayaan” dari (pemberi kuasa,
klien) yang dijalankannya untuk mempertahankan dan memperjuangkan hak-haknya di
forum yang telah ditentukan.[1]
Advokat sebagai nama resmi profesi dalam sistem
peradilan kita-kita pertama ditemukan dalam ketentuan Susunan Kehakiman dan
Kebijaksanaan Mengadili (RO). Advokat itu merupakan padanan dari kata Advocaat (Belanda) yakni seseorang yang
telah resmi diangkat untuk menjalankan profesinya setelah memperoleh gelar meester in de rechten (Mr). Lebih jauh
lagi, sesungguhnya akar kata itu berasal dari kata latin “advocare, advocator”.
Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau hampir di setiap bahasa di dunia kata
(istilah) itu dikenal.[2]
Profesi Advokat sebenarnya merupakan profesi yang
relatif sudah tua usianya. Jauh sebelum kemerdekaan nasional, profesi advokat
sudah dikenal dalam masyarakat Indonesia.
Pada tahun 1947 telah diperkenalkan satu peraturan yang mengatur profesi
advokat. Peraturan yang dikenal dengan nama Reglement
op de Rechterlijke organisatie en het Beleid der Justitie in Indonesia
(S. 1847 no. 23 yo S. 1848 no. 57) dengan segala perubahan dan penambahannya,
antara lain menyebutkan advokat adalah juga Procureur.
Melihat kenyataan bahwa undang-undang tentang advokat telah dibuat pada tahun
1947, dapat diduga bahwa profesi sudah dikenal pada tahun 1850-an[3].
(Yayasan Lembaga Bantuan Indonesia, Buku
Penuntun Untuk Latihan Paralegal, 1989, hal. vii)
Di samping advokat, pada masa sebelum kemerdekaan
nasional, kita mengenal pokrol atau
sering disebut dalam istilah bahasa Inggris bush
lawyer. Mereka adalah pemuka-pemuka masyarakat atau orang-orang biasa yang
setelah memperoleh pendidikan praktek hukum seperti; Hukum Acara Perdata, Hukum
Acara Pidana, Hukum Perdata, Hukum Pidana, diberikan izin pengadilan untuk
memberikan nasehat hukum atau melakukan pembelaan masyarakat pencari keadilan
di depan pengadilan. Para pokrol ini kemudian
berpraktek pula seperti halnya advokat. Pokrol
atau bush lawyer ini sekarang
sudah tidak banyak dikenal, dan lambat laun keberadaannya juga semakin memudar.
Dengan demikian pengertian advokat adalah
orang yang berprofesi memberi jasa hukum yang meliputi memberikan konsultasi
hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela dan
melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan klien baik di dalam maupun di
luar pengadilan dengan mendapatkan honorarium atau imbalan atas jasa hukum yang
diterima berdasarkan kesepakatan dengan klien atau memberikan jasa hukum secara
cuma-cuma kepada klien yang tidak mampu dan memiliki persyaratan berdasarkan
ketentuan Undang-Undang ini. Dengan
adanya Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Pasal 2 ayat (1) mengatur tentang
pengangkatan advokat. Pengangkatan advokat dapat dilakukan kepada sarjana yang
berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan
khusus profesi advokat yang dilaksanakan oleh organisasi advokat. Menurut
amanah pasal 28 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 advokat-advokat harus menjadi
anggota organisasi advokat sebagai wadah profesi advokat yang bebas dan mandiri
yang mempunyai maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi advokat.
Sepanjang organsiasi advokat belum terbentuk
maka sementara tugas dan wewenang dijalankan bersama oleh Ikatan Advokat
Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasehat Hukum
Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat
Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan hukum Indonesia (AKHI),Himpunan
Konsultan Hukum Pasar Modal Indonesia (HKHPM), dan Asosiasi Pengacara Syari’ah
Indonesia (APSI).
Pelaksanaan tugas dan wewenang sementara
tersebut dibatasi sampai waktu dua tahun setelah diundangkannya UU Advokat dan
pada tanggal 21 Desember 2004, delapan organisasi advokat mendeklarasikan
Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) sebagai organisasi advokat di indonesia. Advokat adalah orang yang
berpraktek guna memberikan jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan
berdasarkan undang-undang yang berlaku, baik sebagai advokat privat, penasehat
hukum, pengacara praktek ataupun sebagai konsultan hukum dalam perusahaan
tertentu. Oleh karena itu advokat meruapakan profesi yang terhormat (officium
Nobile).
A.
Peran
dan Fungsi Advokad
Pengertian advokat menurut Pasal 1 ayat (1) UU Advokat adalah orang
yang berprofesi memberi jasa hukum, baik didalam maupun diluar pengadilan yang
memenuhi persyaratan berdasarkan undang-undang ini. Selanjutnya dalam UU
Advokat dinyatakan bahwa advokat adalah penegak hukum yang memiliki kedudukan
setara dengan penegak hukum lainnya (hakim, jaksa, dan polisi). Namun demikian,
meskipun sama-sama sebagai penegak hukum, peran dan fungsi para penegak hukum
ini berbeda satu sama lain.
Mengikuti konsep trias politica tentang pemisahan kekuasaan negara,
maka hakim sebagai penegak hukum menjalankan kekuasaan yudikatif, jaksa dan
polisi menjalankan kekuasaan eksekutif. Disini diperoleh gambaran hakim
mewakili kepentingan negara, jaksa dan polisi mewakili kepentingan pemerintah.
Sedangkan advokat tidak termasuk dalam lingkup kekuasaan negara (eksekutif,
legislatif, dan yudikatif). Advokat sebagai penegak hukum menjalankan peran dan
fungsinya secara mandiriuntuk mewakili kepentingan masyarakat (klien) dan tidak
terpengaruh kekuasaan negara (yudikatif dan eksekutif). Konsekuensi dari
perbedaan konsep tersebut, maka hakim dikonsepsikan memiliki kedudukan yang
objektif dengan cara berpikir yang objektif pula sebab mewakili kekuasaan
negara di bidang yudikatif. Oleh sebab itu, dalam setiap memeriksa, mengadili,
dan menyesesaikan perkara, seorang hakim selain wajib mengikuti peraturan
perundang-undangan harus pula menggali nilai-nilai keadilan yang hidup dan
berkembang ditengah-tengah masyarakat.
Jaksa dan Polisi dikonsepsikan memiliki kedudukan yang subjektif
dengan cara berpikir yang subjektif pula sebab mewakili kepentingan pemerintah
(eksekutif). Untuk itu, bila terjadi pelanggaran hukum (undang-undang), maka
jaksa dan polisi diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk menindaknya
tanpa harus menggali nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang
ditengah-tengah masyarakat. Dengan kata lain, setiap pelanggaran hukum
(undang-undang), maka akan terbuka bagi jaksa dan polisi untuk mengambil
tindakan.
Sedangkan advokat dikonsepsikan memiliki kedudukan yang subjektif
dengan cara berpikir yang objektif. Kedudukan subjektif Advokat ini sebab ia
mewakili kepentingan masyarakat (klien) untuk membela hak-hak hukumnya. Namun,
dalam membela hak-hak hukum tersebut, cara berpikir advokat harus objektif
menilainya berdasarkan keahlian yang dimiliki dan kode etik profesi. Untuk itu,
dalam kode etik ditentukan diantaranya, advokat boleh menolak menangani perkara
yang menurut keahliannya tidak ada dasar hukumnya, dilarang memberikan
informasi yang menyesatkan dan menjanjikan kemenangan kepada klien.
B.
Perkembangan Organisasi
Advokat di Indonesia
Cikal bakal organisasi advokat secara nasional bermula dari
didirikannya Persatuan Advokat Indonesi (PAI), pada 14 Maret 1963. PAI ini
kemudian mengadakan kongres nasional yang kemudian melahirkan Peradin. Dalam
perkembangannya, Peradin ini tidak terlepas dari intervensi pemerintah sebab
perjuangannya pada waktu itu dianggap membahayakan kepentingan rezim pemerintah
yang sedang berkuasa sehingga munculah organisasi advokat yang disebut Ikadin.
Ikadin pun kemudian pecah dan advokat yang kecewa terhadap suksesi kepengurusan
Ikadin mendirikan Asosiasi Advokat Indonesia (AAI). Sejak diberlakukannya UU Advokat pada tanggal 5 April 2003, maka 8
organisasi advokat yaitu IKADIN, IPHI, HAPI, AKHI, AAI, SPI, HKHPM, dan APSI
diamanatkan oleh pembentuk undang-undang untuk membentuk suatu organisasi
advokat dalam kurun waktu 2 tahun. Untuk itu, dibentuklah Komite Kerja Advokat
Indonesia, yang kemudian KKAI ini merumuskan Kode Etik Advokat Indonesia pada
tanggal 23 Mei 2002 dan mendeklarasikan organisasi advokat sebagai organisasi
payung advokat di Indonesia yang disebut Peradi (Perhimpunan Advokat Indonesia/Indonesian
Advocates Asociation) pada tanggal 21 Desember 2004 yang akta pendiriannya
disahkan pada 8 September 2005. Peradi
tersebutlah yang pada saat ini menyelenggarakan Pendidikan Khusus Pendidikan
Advokat (PKPA), Ujian Profesi Advokat (UPA), dan Magang bagi seorang yang
berlatar pendidikan tinggi hukum yang berniat untuk menjalankan profesi advokat
di Indonesia. Advokat sebagai profesi terhormat (officium nobile) yang
dalam menjalankan profesinya berada dibawah perlindungan hukum, undang-undang
dan Kode Etik, memiliki kebebasan yang didasarkan kepada kehormatan dan
kepribadian Advokat yang berpegang teguh kepada Kemandirian, Kejujuran,
Kerahasiaan dan Keterbukaan. Bahwa profesi Advokat adalah selaku penegak
hukum yang sejajar dengan instansi penegak hukum lainnya, oleh karena itu satu
sama lainnya harus saling menghargai antara teman sejawat dan juga antara para
penegak hukum lainnya. Oleh karena itu juga, setiap Advokat harus menjaga citra
dan martabat kehormatan profesi, serta setia dan menjunjung tinggi Kode Etik
dan Sumpah Profesi, yang pelaksanaannya diawasi oleh Dewan Kehormatan sebagai
suatu lembaga yang eksistensinya telah dan harus diakui setiap Advokat tanpa
melihat dari organisasi profesi yang mana ia berasal dan menjadi anggota, yang
pada saat mengucapkan Sumpah Profesi-nya tersirat pengakuan dan kepatuhannya
terhadap Kode Etik Advokat yang berlaku.
C.
Aspek Pidana
Dalam Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat
Dalam
Undang-Undang Advokat adanya putusan Mahkamah Konstitusi [MK] Nomor
006/PUU-II/2004 yang telah dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia Nomor
103 Tahun 2004, Terbit pada hari Selasa tanggal 24 Desember 2004, yang amar
putusannya sebagai berikut :Menyatakan, Pasal 31 Undang-undang Nomor 18 Tahun
2003 tentang Advokat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945; Menyatakan, Pasal 31 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang
Advokat tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; Memerintahkan pemuatan putusan
ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
Dimana
ketentuan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 mengatur bahwa
"Setiap orang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi Advokat
dan bertindak seolah-olah sebagai Advokat, tetapi bukan Advokat sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta)
rupiah". Putusan MK diatas, sesungguhnya secara tidak langsung telah mengabaikan
kepentingan Para Praktisi Advokat berlisensi & telah tergabung pada
organisasi Profesi resmi sebagaimana disyaratkan oleh Undang-Undang, dan dalam
kesehariannya bekerja dan menjalankan profesi Advokat. Karena penghapusan dari
keberlakuan Pasal tersebut bisa Mengembalikan keadaan dan berjalannya profesi
Advokat kembali seperti dulu sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003,
yaitu antara lain : Banyak Sarjana Hukum maupun non-hukum yang karena usia,
pengalaman, atau karena mengenal banyak orang yang bekerja sebagai praktisi
hukum dan pemegang kekuasaan, cukup mengoceh dan contek sana-sini akhirnya bisa
memberi saran & pendapat hukum kepada masyarakat yang membutuhkan jasa
hukum F patut dipertanyakan apakah pemberian saran & pendapat hukum
demikian sudah profesional & searah dengan tujuan dari Undang-Undang
Advokat itu sendiri, Apabila saran & pendapat hukum ini yang diberikan
tidak benar, tentuini akan merugikan masyarakat selaku konsumen pengguna jasa
Advokat Non-Lisensi & sekaligus mencemarkan Profesi Advokat itu sendiri
diIndonesia. Putusan MK yang menghilangkan ketentuan pidana, telah membuka
celah bagi timbulnya kembali praktek Advokat Non-Lisensi merebak dan hidup
tumbuh suburkembali di Indonesia
walau hanya sebatas Non-Litigasi. Uniknya tidak satupun ketentuan yang mengatur
pemberian sanksi apabila para Advokat "jenis ini" tidak tergabung
dalam organisasi profesi. Sehingga penghapusan ketentuan pidana dalam UU
Advokat, cepat atau lambat akan mengembalikan keterpurukan Profesi Advokat di
mata masyarakat dan semakin merugikan masyarakat itu sendiri selaku konsumen
pengguna jasa Advokat dan semakin menimbulkan persaingan tidak sehat antara
para Advokat berlisensi & Advokat Non-Lisensi. Dan sanksi jika terjadi
mall-praktek advokat yaitu Sanksi Pidana, ada alasan pemberat pidana karena
yang bersangkutan menjalankan profesi advokat secara resmi. Dan dalam UU
Perlindungan Konsumen Sanksi Pidana Umum, seperti masyarakat awam lain yang
tidak mengerti hukum maka tidak terjerat UU Perlindungan Konsumen karena bukan
pemberi jasa. Selanjutnya Sanksi
Pelanggaran. Pencabutan izin Advokat Dan ada Pula Sanksi Dari Organisasi Profesi Apabila seorang Advokat berlisensi
melanggar kode etik profesi, tentu hal ini akan menimbulkan Sanksi yang
diberikan oleh Organisasi Profesi. Apakah hal yang sama akan dialami oleh
Advokat Non-Lisensi? TIDAK, karena Advokat
Non-Linsensi tidak perlu bergabung dalam Organisasi Profesi, sehingga tidak perlu cemas akan adanya pemberian Sanksi jika melanggar kode etik.
Berbeda dengan Advokat ber-lisensi, konsekuensi pelanggaran kode etik mengakibatkan adanya Sanksi Pencabutan Izin Advokat. Contoh-contoh dibawah ini bisa jadi akan terjadi pasca pencabutan sanksi pidana dari Undang-Undang
Advokat, yakni: Ketika terjadi musyawarah [negosiasi penyelesaian damai untuk kepentingan klien] antara seorang Advokat Berlisensi dengan seorang Advokat Non-Lisensi, maka apabila Advokat Non-Lisensi melakukan suatu ancaman akan
melakukan upaya Hukum yang tidak perlu dan tidak beralasan [unnecessary bluffing], dimana ancaman upaya hukum ini diselundupkan dengan unsur pemerasan, apakah si-Advokat Berlisensi boleh menegur Advokat lawan yang telah melakukan pelanggaran kode Etik, dan membawa perkara pelanggaran kode etik ini ke muka Dewan Kehormatan? Jawabannya mudah, tidak bisa.karena Advokat Non-Lisensi tidak memiliki Organisasi Profesi dan tidak memiliki Dewan Kehormatan yang akan menegurnya. Terlebih lagi "ancaman" tersebut bisa saja disembunyikan dengan dalil bahwa tidak seorang-pun dianggap melakukan perbuatan melawan hukum, dalam rangka mengambil suatu tindakan hukum.
Non-Linsensi tidak perlu bergabung dalam Organisasi Profesi, sehingga tidak perlu cemas akan adanya pemberian Sanksi jika melanggar kode etik.
Berbeda dengan Advokat ber-lisensi, konsekuensi pelanggaran kode etik mengakibatkan adanya Sanksi Pencabutan Izin Advokat. Contoh-contoh dibawah ini bisa jadi akan terjadi pasca pencabutan sanksi pidana dari Undang-Undang
Advokat, yakni: Ketika terjadi musyawarah [negosiasi penyelesaian damai untuk kepentingan klien] antara seorang Advokat Berlisensi dengan seorang Advokat Non-Lisensi, maka apabila Advokat Non-Lisensi melakukan suatu ancaman akan
melakukan upaya Hukum yang tidak perlu dan tidak beralasan [unnecessary bluffing], dimana ancaman upaya hukum ini diselundupkan dengan unsur pemerasan, apakah si-Advokat Berlisensi boleh menegur Advokat lawan yang telah melakukan pelanggaran kode Etik, dan membawa perkara pelanggaran kode etik ini ke muka Dewan Kehormatan? Jawabannya mudah, tidak bisa.karena Advokat Non-Lisensi tidak memiliki Organisasi Profesi dan tidak memiliki Dewan Kehormatan yang akan menegurnya. Terlebih lagi "ancaman" tersebut bisa saja disembunyikan dengan dalil bahwa tidak seorang-pun dianggap melakukan perbuatan melawan hukum, dalam rangka mengambil suatu tindakan hukum.
Mengenai
keberadaan Lembaga-Lembaga Bantuan hukum diUniversitas, hal ini tidak bisa
dipungkiri, bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Advokat khususnya Pasal 31,
telah membatasi ruang-gerak LBH-Kampus sebagai organisasi nir-laba, dalam
memberikan jasa bantuan hukum baik litigasi maupun non-litigasi, bahkan
cenderung menciptakan kevakuman bagi LBH kampus. Namun secara sederhana hal ini
bisa diatasi dengan meminta Surat Penunjukkan dan/atau bekerja sama dengan
Persatuan Advokat Indonesia [PERADI] agar bersedia memberi Surat izin bagi
LBH-LBH kampus dimaksud untuk jangka waktu dan kurun waktu tertentu, yang bisa
diperpanjang lagi sesuai kebutuhan, agar LBH ini bisa kembali memberikan jasa
hukum kepada masyarakat baik untuk berlitigasi maupun non-litigasi. Penulis
melalui tulisan ini tidak bermaksud meremehkan peranan LBH-Kampus ini yang
sesungguhnya telah menjalankan pemberian jasa hukum yang mulia dan sekaligus
sebagai gerbang awal bagi para Calon Sarjana Hukum untuk terjun langsung dan
bergabung untuk menjalankan profesi Advokat secara mandiri & profesional di
Indonesia.
Kami menyampaikan pendapat melalui tulisan ini, semata-mata untuk
mendeskripsikan bahwa adanya penghapusan sanksi pidana dalam Undang-Undang
Advokat, besar kemungkinan akan menciptakan peluang pelanggaran kode etik
Profesi yang dilakukan oleh Advokat Non-Lisensi, serta bisa mengabaikan
kepentingan para Advokat berlisensi yang secara penuh tunduk pada ketentuan
Undang-Undang Advokat itu sendiri.
UU No. 13 Tahun 2003 itu UU Ketenagakerjaan buka UU Advokat
BalasHapus